Hidayah

Gambar terkait
Berbicara tentang hidayah berarti membahas perkara yang paling penting dan kebutuhan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Betapa tidak, hidayah adalah sebab utama keselamatan dan kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Sehingga barangsiapa yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala untuk meraihnya, maka sungguh dia telah meraih keberuntungan yang besar dan tidak akan ada seorangpun yang mampu mencelakakannya.
Allah Ta’ala berfirman:
{مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi (dunia dan akhirat)” (QS al-A’raaf:178).
Dalam ayat lain, Dia Ta’ala juga berfirman:
{مَن يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا}
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk (dalam semua kebaikan dunia dan akhirat); dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS al-Kahf:17).

Kebutuhan manusia kepada hidayah Allah Ta’ala

Allah Ta’ala memerintahkan kepada kita dalam setiap rakaat shalat untuk selalu memohon kepada-Nya hidayah ke jalan yang lurus di dalam surah al-Fatihah yang merupakan surah yang paling agung dalam Al-Qur-an1, karena sangat besar dan mendesaknya kebutuhan manusia terhadap hidayah Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
{اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ}
Berikanlah kepada kami hidayah ke jalan yang lurus”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Seorang hamba senantiasa kebutuhannya sangat mendesak terhadap kandungan doa (dalam ayat) ini, karena sesungguhnya tidak ada keselamatan dari siksa (Neraka) dan pencapaian kebahagiaan (yang abadi di Surga) kecuali dengan hidayah (dari Allah Ta’ala) ini. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan hidayah ini berarti dia termasuk orang-orang yang dimurkai oleh Allah (seperti orang-orang Yahudi) atau orang-orang yang tersesat (seperti orang-orang Nashrani)”2.
Lebih lanjut, Imam Ibnul Qayyim memaparkan hal ini dengan lebih terperinci, beliau berkata: “Seorang hamba sangat membutuhkan hidayah di setiap waktu dan tarikan nafasnya, dalam semua (perbuatan)yang dilakukan maupun yang ditinggalkannya. Karena hamba tersebut berada di dalam beberapa perkara yang dia tidak bisa lepas darinya:
  • Yang pertama; perkara-perkara yang dilakukannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayah (petunjuk Allah Ta’ala) karena kebodohannya, maka dia butuh untuk memohon hidayah Allah kepada kebenaran dalam perkara-perkara tersebut.
  • Atau dia telah mengetahui hidayah (kebenaran) dalam perkara-perkara tersebut, akan tetapi dia mengerjakannya (dengan cara) yang tidak sesuai dengan hidayahsecara sengaja, maka dia butuh untuk bertaubat dari (kesalahan) tersebut.
  • Atau perkara-perkara yang dia tidak mengetahui segi hidayah (kebenaran) padanya, baik dalam ilmu dan amal, sehingga luput darinya hidayah untuk mengenal dan mengetahui perkara-perkara tersebut (secara benar), serta untuk meniatkan dan mengerjakannya.
  • Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain, maka dia butuh kesempurnaan hidayah padanya.
  • Atau perkara-perkara yang dia telah mendapat hidayah (kebenaran) padanya secara asal (garis besar), tapi tidak secara detail, sehingga dia butuh hidayah (pada) perincian (perkara-perkara tersebut).
  • Atau jalan (kebenaran) yang dia telah mendapat hidayah kepadanya, tapi dia membutuhkan hidayah lain di dalam (menempuh) jalan tersebut. Karena hidayah (petunjuk) untuk mengetahui suatu jalan berbeda dengan petunjuk untuk menempuh jalan tersebut. Bukankah anda pernah mendapati seorang yang mengetahui jalan (menuju) kota tertentu yaitu jalur ini dan itu, akan tetapi dia tidak bisa menempuh jalan tersebut (tidak bisa sampai pada tujuan)? Karena untuk menempuh perjalanan itu sendiri membutuhkan hidayah (petunjuk) yang khusus, contohnya (memilih) perjalanan di waktu tertentu dan tidak di waktu lain, mengambil (persediaan) di tempat tertentu dengan kadar yang tertentu, serta singgah di tempat tertentu (untuk beristirahat) dan tidak di tempat lain. Petunjuk untuk menempuh perjalanan ini terkadang diabaikan oleh orang yang telah mengetahui jalur suatu perjalanan, sehingga (akibatnya) diapun binasa dan tidak bisa mencapai tempat yang dituju.
  • Demikian pula perkara-perkara yang dia butuh untuk mendapatkan hidayah dalam mengerjakannya di waktu mendatang sebagaimana dia telah mendapatkannya di waktu yang lalu.
  • Dan perkara-perkara yang dia tidak memiliki keyakinan benar atau salahnya (perkara-perkara tersebut), maka dia membutuhkan hidayah (untuk mengetahui mana yang) benardalam perkara-perkara tersebut.
  • Dan perkara-perkara yang dia yakini bahwa dirinya berada di atas petunjuk (kebenaran) padanya, padahal dia berada dalam kesesatan tanpa disadarinya, sehingga dia membutuhkan hidayah dari Allah untuk meninggalkan keyakinan salah tersebut.
  • Dan perkara-perkara yang telah dikerjakannya sesuai dengan hidayah (kebenaran), tapi dia butuh untuk memberi bimbingan, petunjuk dan nasehat kepada orang lain untuk mengerjakan perkara-perkara tersebut (dengan benar). Maka ketidakperduliannya terhadap hal ini akan menjadikannya terhalang mendapatkan hidayah sesuai dengan (kadar) ketidakperduliannya, sebagaimana petunjuk, bimbingan dan nasehatnya kepada orang lain akan membukakan baginya pintu hidayah, karena balasan (yang Allah Y berikan kepada hamba-Nya) sesuai dengan jenis perbuatannya”3.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Katsir ketika menjawab pertanyaan sehubungan dengan makna ayat di atas: bagaimana mungkin seorang mukmin selalu meminta hidayah di setiap waktu, baik di dalam shalat maupun di luar shalat, padahal dia telah mendapatkan hidayah, apakah ini termasuk meminta sesuatu yang telah ada pada dirinya atau tidak demikian?
Imam Ibnu Katsir berkata: “Jawabannya: tidak demikian, kalaulah bukan karena kebutuhan seorang mukmin di siang dan malam untuk memohon hidayah maka Allah tidak akan memerintahkan hal itu kepadanya. Karena sesungguhnya seorang hamba di setiap waktu dan keadaan sangat membutuhkan (pertolongan) Allah Ta’ala untuk menetapkan dan meneguhkan dirinya di atas hidayah-Nya, juga membukakan mata hatinya, menambahkan kesempurnaan dan keistiqamahan dirinya di atas hidayah-Nya.Sungguh seorang hamba tidak memiliki (kemampuan memberi) kebaikan atau keburukan bagi dirinya sendiri kecuali dengan kehendak-Nya, maka Allah Ta’alamembimbingnya untuk (selalu) memohon kepada-Nya di setiap waktu untuk menganugerahkan kepadanya pertolongan, keteguhan dan taufik-Nya. Oleh karena itu, orang yang beruntung adalah orang yang diberi taufik oleh Allah Ta’alauntuk (selalu) memohon kepadanya, karena Allah Ta’ala telah menjamin pengabulan bagi orang yang berdoa jika dia memohon kepada-Nya, terutama seorang yang sangat butuh dan bergantung kepada-Nya (dengan selalu bersungguh-sungguh berdoa kepada-Nya) di waktu-waktu malam dan di tepi-tepi siang”4.

Makna, hakikat dan macam-macam hidayah

Hidayah secara bahasa berarti ar-rasyaad (bimbingan) dan ad-dalaalah (dalil/petunjuk)5.
Adapun secara syar’i, maka Imam Ibnul Qayyim membagi hidayah yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala menjadi empat macam:
1. Hidayah yang bersifat umum dan diberikan-Nya kepada semua makhluk, sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya:
{قَال َرَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى}
Musa berkata: “Rabb kami (Allah Ta’ala) ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada setiap makhluk bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk” (QS Thaahaa: 50).
Inilah hidayah (petunjuk) yang Allah Ta’ala berikan kepada semua makhluk dalam hal yang berhubungan dengan kelangsungan dan kemaslahatan hidup mereka dalam urusan-urusan dunia, seperti melakukan hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi hal-hal yang membinasakan untuk kelangsungan hidup di dunia.
2. Hidayah (yang berupa) penjelasan dan keterangan tentang jalan yang baik dan jalan yang buruk, serta jalan keselamatan dan jalan kebinasaan. Hidayah ini tidak berarti melahirkan petunjuk Allah yang sempurna, karena ini hanya merupakan sebab atau syarat, tapi tidak mesti melahirkan (hidayah Allah Ta’ala yang sempurna). Inilah makna firman Allah:
{وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى}
Adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk, tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk” (QS Fushshilat: 17).
Artinya: Kami jelaskan dan tunjukkan kepada mereka (jalan kebenaran) tapi mereka tidak mau mengikuti petunjuk.
Hidayah inilah yang mampu dilakukan oleh manusia, yaitu dengan berdakwah dan menyeru manusia ke jalan Allah, serta menjelaskan kepada mereka jalan yang benar dan memperingatkan jalan yang salah, akan tetapi hidayah yang sempurna (yaitu taufik) hanya ada di tangan Allah Ta’ala, meskipun tentu saja hidayah ini merupakan sebab besar untuk membuka hati manusia agar mau mengikuti petunjuk Allah Ta’ala dengan taufik-Nya.
Allah Ta’ala berfirman tentang Rasul-Nya:
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).
3. Hidayah taufik, ilham (dalam hati manusia untuk mengikuti jalan yang benar) dan kelapangan dada untuk menerima kebenaran serta memilihnya. inilah hidayah (sempurna) yang mesti menjadikan orang yang meraihnya akan mengikuti petunjuk Allah Ta’ala. Inilah yang disebutkan dalam firman-Nya:
{فإن الله يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ}
Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi hidayah (taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (QS Faathir: 8).
Dan firman-Nya:
{إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ}
Jika engkau (wahai Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya dan mereka tidak mempunyai penolong” (QS an-Nahl: 37).
Juga firman-Nya:
{إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ}
Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam) tidak dapat memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai, tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Dia yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang mau menerima petunjuk” (QS al-Qashash: 56).
Maka dalam ayat ini Allah menafikan hidayah ini (taufik) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan menetapkan bagi beliau Shallallahu’alaihi Wasallam hidayah dakwah (bimbingan/ajakan kepada kebaikan) dan penjelasan dalam firman-Nya:
{وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ}
Sesungguhnya engkau (wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) benar-benar memberi petunjuk (penjelasan dan bimbingan) kepada jalan yang lurus” (QS asy-Syuuraa: 52).
4. Puncak hidayah ini, yaitu hidayah kepada Surga dan Neraka ketika penghuninya digiring kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman tentang ucapan penghuni Surga:
{وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ}
Segala puji bagi Allah yang telah memberi hidayah kami ke (Surga) ini, dan kami tidak akan mendapat hidayah (ke Surga) kalau sekiranya Allah tidak menunjukkan kami” (QS al-A’raaf: 43).
Adapun tentang penghuni Neraka, Allah Ta’ala berfirman:
{احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَمِنْ دُونِ اللهِ فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ}
Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim beserta teman-teman yang bersama mereka dan apa yang dahulu mereka sembah selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka” (QS ash-Shaaffaat: 22-23)”6.
Dari sisi lain, Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi hidayah menjadi dua:
  1. Hidayah yang bersifat mujmal (garis besar/global), yaitu hidayah kepada agama Islam dan iman, yang ini dianugerahkan-Nya kepada setiap muslim.
  2. Hidayah yang bersifat rinci dan detail, yaitu hidayah untuk mengetahui perincian cabang-cabang imam dan islam, serta pertolongan-Nya untuk mengamalkan semua itu. Hidayah ini sangat dibutuhkan oleh setiap mukmin di siang dan malam”7.

0 komentar:

Shalawat

Arti Shalawat
   Shalawat adalah bentuk jamak dari kata salla atau salat yang berarti: doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan ibadah.Arti bershalawat dapat dilihat dari pelakunya. Jika shalawat itu datangnya dari Allah Swt. berarti memberi rahmat kepada makhluk. Shalawat dari malaikat berarti memberikan ampunan. Sedangkan shalawat dari orang-orang mukmin berarti suatu doa agar Allah Swt. memberi rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad Saw. dan keluarganya.
   
Shalawat juga berarti doa, baik untuk diri sendiri, orang banyak atau kepentingan bersama. Sedangkan shalawat sebagai ibadah ialah pernyataan hamba atas ketundukannya kepada Allah Swt., serta mengharapkan pahala dari-Nya, sebagaimana yang dijanjikan Nabi Muhammad Saw., bahwa orang yang bershalawat kepadanya akan mendapat pahala yang besar, baik shalawat itu dalam bentuk tulisan maupun lisan (ucapan).
Hukum Bershalawat
Para ulama berbeda pendapat tentang perintah yang dikandung oleh ayat "Shallû 'Alayhi wa Sallimû Taslîmân = bershalawatlah kamu untuknya dan bersalamlah kamu kepadanya," apakah untuk sunnat apakah untuk wajib. 
Kemudian apakah shalawat itu fardlu 'ain ataukah fardlu kifayah. Kemudian apakah membaca shalawat itu setiap kita mendengar orang menyebut namanya ataukah tidak. 
Asy-Syâfi'i berpendapat bahwa bershalawat di dalam duduk akhir di dalam sembahyang, hukumnya fardlu. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalawat itu adalah sunnat.

Kata Al-Syakhâwî : "Pendapat yang kami pegangi ialah wajibnya kita membaca shalawat dalam duduk yang akhir dan cukup sekali saja dibacakan di dalam suatu majelis yang di dalam majelis itu berulang kali disebutkan nama Rasul.

Al-Hâfizh Ibn Hajar Al-Asqalânî telah menjelaskan tentang madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mengenai hukum bershalawat dalam kitabnya "Fath al-Bârî", sebagaimana di bawah ini.

Para ulama yang kenamaan, mempunyai sepuluh macam madzhab (pendirian) dalam masalah bershalawat kepada Nabi Saw.:

Pertama, madzhab Ibnu Jarîr Al-Thabarî. Beliau berpendapat, bahwa bershalawat kepada Nabi, adalah suatu pekerjaan yang disukai saja.

Kedua, madzhab Ibnu Qashshar. Beliau berpen-dapat, bahwa bershalawat kepada Nabi suatu ibadat yang diwajibkan. Hanya tidak ditentukan qadar banyaknya. Jadi apabila seseorang telah bershalawat, biarpun sekali saja. Terlepaslah ia dari kewajiban.

Ketiga, madzhab Abû Bakar Al-Râzî dan Ibnu Hazmin. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa bershalawat itu wajib dalam seumur hidup hanya sekali. Baik dilakukan dalam sembahyang, maupun di luarnya. Sama hukumnya dengan mengucapkan kalimat tauhid. Selain dari ucapan yang sekali itu hukumnya sunnat.

Keempat, madzhab Al-Imâm Al-Syâfi'i. Imam yang besar ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibacakan dalam tasyahhud yang akhir, yaitu antara tasyahhud dengan salam.

Kelima, madzhab Al-Imâm Asy-Sya'bî dan Ishâq. Beliau-beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib hukumnya dalam kedua tasyahud, awal dan akhir.

Keenam, madzhab Abû Ja'far Al-Baqîr. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib dibaca di dalam sembahyang. Cuma beliau tidak menentukan tempatnya. Jadi, boleh di dalam tasyahhud awal dan boleh pula di dalam tasyahhud akhir.

Ketujuh, madzhab Abû Bakar Ibnu Bakir. Beliau ini berpendapat, bahwa shalawat itu wajib kita membacanya walaupun tidak ditentukan bilangannya.

Kedelapan, madzhab Al-Thahawî dan segolongan ulama Hanafiyah. Al-Thahawî berpendapat bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendengar orang menyebut nama Muhammad. Paham ini di ikuti oleh Al-Hulaimî dan oleh segolongan ulama Syâfi'iyyah.

Kesembilan, madzhab Al-Zamakhsyarî. Al-Zamakhsyarî berpendapat, bahwa shalawat itu dimustikan pada tiap-tiap majelis. Apabila kita duduk dalam suatu majelis, wajiblah atas kita membaca Shalawat kepada Nabi, satu kali.

Kesepuluh, madzhab yang dihikayatkan oleh Al-Zamkhsyarî dari sebagian ulama Madzhab ini berpendapat bahwa bershalawat itu diwajibkan pada tiap-tiap kita mendoa.

Untuk mengetahui manakah paham yang harus dipegangi dalam soal ini, baiklah kita perhatikan apa yang telah diuraikan oleh Al-Imâm Ibn Al-Qayyim dalam kitabnya Jalâul Afhâm, katanya : "Telah bermufakat semua ulama Islam atas wajib bershalawat kepada Nabi, walaupun mereka berselisih tentang wajibnya di dalam sembahyang. Segolongan ulama tidak mewajibkan bershalawat di dalam sembahyang. Di antaranya ialah, Al-Thahawî, Al-Qâdhî al-'Iyâd dan Al-Khaththabî. Demikianlah pendapat para fuqaha selain dari Al-Syâfi'i."
Dengan uraian yang panjang Al-Imâm Ibn Al-Qayyim membantah paham yang tidak mewajibkan shalawat kepada Nabi Saw. di dalam sembahyang dan menguatkan paham Al-Syâfi'i yang mewajibkannya.

Al-Imâm Ibn Al-Qayyim berkata: "Tidaklah jauh dari kebenaran apabila kita menetapkan bahwa shalawat kepada Nabi itu wajib juga dalam tasyahhud yang pertama. Cuma hendaklah shalawat dalam tasyahhud yang pertama, diringkaskan. Yakni dibaca yang pendek. 
Maka apabila kita renungkan faham-faham yang telah tersebut itu, nyatalah bahwa bershalawat kepada Nabi itu disuruh, dituntut, istimewa dalam sembahyang dan ketika mendengar orang menyebut nama Nabi Muhammad Saw.

Berkata Al-Faqîh Ibn Hajar Al-Haitamî dalam Al-Zawâjir: "Tidak bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. ketika orang menyebut namanya, adalah merupakan dosa besar yang keenampuluh."

Arti shalawat dan Macam - Macam Shalawat Nabi 

Artinya: "Apakah tidak lebih baik saya khabarkan ke-padamu tentang orang yang dipandang sebagai manusia yang sekikir-kikirnya? Menjawab sahabat : Baik benar, ya Rasulullah. Maka Nabi-pun bersabda : Orang yang disebut namaku dihadapannya, maka ia tidak bershalawat ke-padaku, itulah manusia yang sekikir-kikirnya." (HR. Al-Turmudzû dari 'Ali).

Kemudian hadis Nabi yang lain

Arti shalawat dan Macam - Macam Shalawat Nabi

Artinya: "Kaum mana saja yang duduk dalam suatu majelis dan melamakan duduknya dalam majelis itu, kemudian mereka bubar dengan tidak menyebut nama Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi, niscaya mereka menghadapi kekurangan dari Allah. Jika Allah meng-hendaki, Allah akan mengadzab mereka dan jika Allah menghendaki, Allah akan memberi ampunan kepada mereka. " (HR Al-Turmudzî).

Berikut ini contoh shalawat versi Sabyan

Ya Habibal Qalbi



Qamarun

Ahmad Ya Habibi



0 komentar:

My Home

Hasil gambar untuk tumblr sweet home





0 komentar:

Hijrah

Assalamu'alaikum Wr.Wb

Hasil gambar untuk tumblr hijrah
Sahabat yang shalih dan shalihah sering kita mendengar kata “Hijrah” dalam kehidupan sehari-hari kita. Hijrah pun memiliki banyak macam. Namun Hijrah yang paling baik adalah Hijrah manuju jalan Allah S.W.T
“Bahwasanya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berusaha bersungguh-sungguh pada jalan Allah, mereka itulah mendapat rahmat Allah dan Allah maha pengampun lagi maha pengasih” ( 2: 218 )
Kita juga tahu bahwa usaha yang dilakukan oleh Nabi dan Rasul serta sahabat-sahabatnya tidaklah mudah, baik di dalam menghadapi umat muslim sendiri maupun dalam mengahadapi dunia luar
I. Apakah Makna “Hijrah” yang sebenarnya ?
Makna hijrah sendiri berasal dari kata “Hadjara” yang juga memiliki banyak arti dan makna. Diantara yang terkandung itu adalah sebagai berikut :

  •  Hijrah dalam makna: Menyingkiri ( sesuatu ), seperti yang di jeaskan dalam Al–Quran Surat Al–Mudatsir ayat 5 :
.. Dan singkirilah perbuatan dosa itu”
( QS. Al-Mudatsir ayat 5 )

  •  Hijrah dalam makna : meninggalkan dan berpaling (dari pada sesuatu), Al–Quran Surat Maryam ayat 46 :
..Dan tinggalkanlah kami sebentar”
( QS. Maryam ayat 46)
Yang menceritakan tentang riwayat Nabi Ibrahim dalam menghadapi kaum musyrikin pada zamannya. Potongan ayat tersebut adalah bagian dari perkataan orang musyrikin kepada Nabi Ibrahim agar meninggalkan mereka untuk sementara waktu agar mereka tidak terganggu dalam mneyambah berhalanya. Ptongan ayat ini hanyalh untuk memperluas pengetahuan kita tentang Hijrah.

  •  Hijrah dalam makna : Menjauhkan diri ( dari sesuatu ), yang terkandung di dalam Al–Quran Surat Al–Muzammil ayat 10 :
.. Dan hendaklah engkau sabar atas perkara yang mereka katakan dan hendaklah engkau ( Muhammad ) menjauhkan diri dari mereka, dengan laku dan cara (menjauhkan) yang baik.”
( QS. Surat Al-Muzammil ayat 10)
Karena semuanya berdasarkan penyelidikan dan pengalaman panca indera. Hal ini tentu tidak mudah dan sukar untuk disengajakn bersama-sama
Contohnya, saat seorang muslim melihat seorang musyrik sedang menyembah berhala, yang ia lakukan adalah mnegajak seorang kawannya untuk melihat hal tersebut. Seharusnya pada waktu ia mneyaksikan hal tersebut, maka pada waktu itu juga ia wajib meninggalkan atau menjauhkan diri dari tempat itu. dengan tidak tergantung kepada kawannya atau tidak.

  • Hijrah dalam makna : Memisahkan ( sesuatu ), seperti yang dimaksudkan dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 34 :
..Dan pisahkanlah mereka ( perempuan ) di dalam tempat-tempat tidurnya….”
(QS An-Nisa ayat 34)
Yang dimaksud disini adalah, bahwa kejadian yang demikian itu-perpisahan antara laki-laki dan perempuan, kecuali dalam ikatan suami-istri

  •  Hijrah dalam makna : Memutuskan perhubungan ( dengan sesuatu ) atau pindah dari dari sesuatu kepada yang lainnya. Seperti yang dimaksudkan di dalam Al-Quran surat Ali-Imran ayat 194 :
…Maka mereka yang pindah dari mekah, memutuskan perhubungan dan karena dikeluarkan oleh orang Quraisy dari tempat-tempat kediaman mereka itu….
(QS. Ali Imran 3 : 194)
Sudah jelas bahwan arti kata hadjarah dalam ayat ini adalah,putus hubungan atau pindah tempat dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Ha ini dikarenakan mereka dikeluarkan ( di usir ) atau di halaukan dari tempat kedudukannya yang semula; bukanlah sengaja memutuskan perhubungan itu, karena hawa nafsunya.
Ayat ini membahas hal yang umum, seba di dalam ayat itu di jelaskan bahwa pindah itu dilakukan bersama-sama
…min dzakarin au untsa….”
( dari pada laki-laki atau perempuan )
jadi beda dengan ayat-ayat yang tersebut dalam (1), (2), (3)
II. Siapakah yang seharusnya melakukan “Hijrah” ?
Menurut riwayat islam ( Al–Quran ), yang wajib melakukan Hijrah ialah tiap-tiap orang laki-laki dan perempuan, tua dan muda. Di dalam potongan ayat Al-Quran, Surat Al-Ahzab ayat 50, juga di tegaskan , bahwa orang-orang perempuan pun harus ikut melakukan Hijrah, bersamaan dengan laki-laki, istimewa Nabi :
..(Mereka perempuan) yang hijrah berserta engkau Muhammad!”
( QS.AL Ahzab ayat 50)
Mereka melakukan hijrah dengan Nabi dalam tiap tiap perkara dan tiap ketentuan juga ada pengecualiannya. Seperti yang di terangkan Allah dalam firman Allah Surat An-Nisa ayat 98 :
“Melainkan orang-orang yang lemah dari pada orang laki-laki dan perempuan dan anak-anak, yang tidak mempunyai kekuatan ( kekuasaan ), atau tidak mendapat jalan ( untuk Hijrah itu)”
( QS An Nisa ayat 98)
III. Lalu harus berhijrah kemana?
Di dalam tarikhhijrah dilakukan berkali-kali, tempat dan tujuannya pun berbeda-beda
1). Hijrah ke Habsyi, yang dilakukan di dalam pertengahan zaman mekkah;
2). Hijrah Nabi dan kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat dan sanak keluarga ke Madinah; sebelum itu tercatat pula, Hijrah sahabat-sahabat Nabi ke Madinah dalam awal tahun kenabian yang ke 13, sesudah baiat Aqabah kedua.
Bagi kaum Muslimin ‘umumnya sukarlah memperbedakan antara mekkah dan Habsyi, Mekkah atau Madinah, begitu juga perbedaan antara satu dengan yang lainnya.
Jadi, jika kita hendak mengikuti ( itba’) langkah Nabi. Di dalam bagian Hijrah yang terlampau amat penting ini, bukanlah maksudnya, supaya kita pergi ke Mekkah ( di negeri Arab ).
IV . Berlaku bagi siapakah Hijrah ?
Terbagi menjadi tiga bagian :

  •  Wajibnya Hijrah
Wajibnya Hijrah yang dijatuhkan atas kaum muslimin, bukanlah orang-orang yang bertempat tinggal di Madinah, di Habsyi ataupun di lain-lain tempat, melainkan ialah wajib atas kaum muslimin yang bertempat tinggal dan berumah di mekkah.
Orang-orang yang di Madinah atau lain-lain tempat diluar Mekkah itu, boleh menjadi bagian kaum Muslimin yang membela dan memperlindungi ( Anshar ) saudara-saudara kaum Muhajirin; boleh juga ia menjadi kaum Munafiqin, yang pura2 masuk islam, tetapi sengguhnya hendak melakukan khianat, ataupun mereka itu boleh tetap di dalam kekufurannya, tegasnya memegang teguh akan peraturan dan keyakinan-agamanya yang dulu-dulu ( sebelum islam ).
Itulah hanya terserah kepada mereka itu sendiri, dan tergantung kepada pertolongan Allah semata-mata. Orang-orang Mukmin yang Hijrah baik ke Habsyi, atau ke Madinah samalah derajatnya, seperti yang dijelaskan di dalam Al-Quran Surat An-Anfal ayat 75 :
..Dan orang-orang yang kemudian beriman, dan hijrah dan berusaha sungguh2 pada jaln Allah bersama-sama kamu, mereka itulah termasuk golonganmu ( ummat Muhammad ).
(QS. An-Anfal ayat 75)

  •  Zaman Hijrah
Pada zaman ini, yang berlakunya Hijrah Nabi, hingga kepada zaman fatah dan zaman falah, lebih jelasnya: zaman kemenangan islam, yang lamanya kurang lebih 8 tahun itu, kaum Muslimin yang termasuk bagian Ansar-sesungguhnya mereka itu tidak ikut Hijrah, karena tidak ada alasan untuk melakukan Hijrah itu-mempunyai derajat yang bersamaan dengan kaum Muhajirin.
Bahkan di dalam Al-Quran Surat Al-Anfal ayat 72 dikatakan, bahwa mereka itu adalah pembela dan pelindung antara satu dengan yang lainnya :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan sama Hijrah dan sama usaha dengan sungguh2 pada jalan Allah dengan harta benda dan jiwanya, dan orang-orang yang memberi tempat perlindungan dan membantunya ;mereka itulah satu sama lindung-melindungi….
(QS. Al-Anfal ayat 72)
Lebih jelas lagi di ayat 74, dikatakan bahwa mereka itu –Muhajirin dan Ansar adalah orang-orang Mukmin yang sunguh-sungguh:
… Dan mereka yang beriman, dan Hijrah dan bekerja sungguh-sungguh pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi perlindungan dan membela ( mereka itu ); Mereka ( Muhajirin dan Ansyar ) itu orang-orang yang beriman yang sesungguh-sungguhnya; bagi mereka itu ( diberikan Allah ) ampun dan rizki ( pemeliharaan ) yang cukup-cukup.”

  •  Kesudahan Hijrah
Hijrah itu tidak boleh disudahi dan diperhentikan, sebelum datang falah (bahagia) dan Fatah (kemenangan) yang nyata. Hijrah wajib terus berjalan, selama di tempat itu masih merajalela peraturan Zahiliyyah (Thaghut),
Dalam Tarikh dijelaskan, bahwa berhentinya Hijrah itu pada waktu islam telah mendapat kemenangan atas Mekkah, satu kemenangan yang hanya akan tercapai dengan kehendak (Iradat) dan kekuasaan (Qudrad) Allah S.W.T
Sejak zaman itu tidak lagi terjadi putus hubungan atau perpisahan antara Mekkah dan Madinah, melainkan kedua itu disatukan.
V. Sebab – sebab mengapa harus Hijrah
jika kita ingin mengetahui alasan kenapa kita harus berhijrah. Hendaknya kita bisa membuka AL-Qur’an pada ayat-ayat berikut :
( 74 : 5 , ( 19 : 46 ), ( 25 : 30 ), ( 73 : 10 ), ( 4 : 34 ), ( 29 : 26 ), ( 3 : 194 )
Di dalam ayat-ayat diatas sudah dijelaskan Hijrah yang dilakukan oleh Nabi. di bagi menjadi dua bagian besar, yaitu :
• Hijrah yang diwajibkan atas manusia seorang diri ( individu ), yang hanya dapat dilakukan oleh seorang saja.
• Hijrah yang diwajibkan atas segolongan manusia sebagai satu badan universal. Hijrah bagian ini dapat dan harus dijalankan bersama-sama. Hijrah ini juga di bagi menjadi dua bagian :
(1) Hijrah ini boleh kita namakan Hijrah ke dalam ( Intern ). Karena sikap danlangkah Nabi dalam Hijrah hanya mengenai keperluan dan kepentingan kaum Muslimin sendiri, di dalam dan atas kaum Muslimin itu pula.
(2) hijrah kedua ini dinamakan Hijrah ke luar ( Extern ). Karena di dalam hijrah ini mengenai sikap dan perilaku nabi terhadap orang orang di luar golongan kaum Muslimin.
Jika kita suka menyelidiki Tarikh Nabi, dengan teliti, maka kita akan mengetahui, bahwa yang menyebabkan timbulnya Hijrah yang (1) ataupun yang (2) hanyalah karena ada Fitnah di dalam Agama semata-mata, sebagaimana yang tersebut dalam Firman Allah :
….Dan sesungguhnya Robb-Mu tentang orang-orang yang Hijrah, setelah mereka mendapat fitnah ( cobaan ) dan kemudian usaha sungguh2 dan bersabar–sesungguhnya Robb-Mu itu maha pengampun pengasih.
(QS An-Nahl ayat 110)
selain iti di riwayatkan dalam suatu Hadist siti Aisyah :
….Maka Hijrah itu wajib atas tiap-tiap Muslim yang takut difitnah karena agamanya.
kata fitnah memilki arti : kesukaran, penganiayaan ( dzalim ), kesusahan dan lain-lain. Namun fitnah yang sesungguhnya juga bisa berarti : Cobaan, Ujian, Siksa dan ketiadaan kepercayaan (jahil).
Perbuatan seorang mengajak–ajak atau membujuk orang, supaya durhaka, dikatakan juga fitnah. Orang menganiaya ataupun menyiksa orang, agar terjerumus dari jalan yang benar, disebut juga dengan fitnah. Pemberian makanan dan minuman atau lain-lain yang nampaknya lezat namun dilarang dalam agama islam, juga bisa di sebut fitnah.
Bila di simpulkan fitnah bisa berarti : setiap perbuatan atau apapun juga sifat dan wujudnya yang menyebabkan manusia tersesat dari jalan yang benar
VI. Maksud dan Tujuan Hijrah
Maksud dan tujuan Hijrah yang utama adalah mengharapakan, mencari dan mendapatkan Rahmat dari Allah ta’ala, seperti yang dijelaskan dalam Surat At-Taubah ayat 100 :
Dan tentang yang terlebih dahulu, (orang-orang) yang pertama-tama termasik golongan Muhajirin dan Anshar, dan orang2 yang mengikuti ( langkah ) mereka itu dengan sebaik-baiknya ( semulia-mulianya); (maka) Allah meridhai mereka itu ridho akan dia(Allah)..
( QS AT-Taubah ayat 100 )
VII. Macam-macam Hijrah
menurut sifatnya hijrah dapat di bagi menjadi 4 bagian, yaitu :
• Hijrah Fi-Liyah
adapun yang dimaksud dengan Hijrah Fi-Liyah adalah hijrah yang membelakangkan keduniaan. Orang yang melakukan hijrah Fi-Liyah memiliki keyakinan dan paham akan kewajibannya untuk hijrah. Hijrahnya pun masuk ke dalam hijrah I’tiqad yang artinya hijrahnya hanya kepada Allah ( Hubullah). Orang yang hijrah kepada Allah juga tidak lagi terfokus kepada kehidupan duniawi tapi ia akan mencari jalan agar selalu ingat kepada Allah ta’ala. Seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran, Surat An-Nahl ayat 41 :
Dan tentang orang-orang yang Hijrah karena Allah, setelah mereka mendapat penganiayaan pastilah kami ( Allah ) akan memberi kepadanya tempat di dunia yang baik ( hasanah ) dan ganjarannya ( kami kepada mereka itu ) di akhirat tentulah lebih besar, kalau saja mereka itu mengetahui.
(Al-Quran, Surat An-Nahl ayat 41)
• Hijrah Fi – Sabilillah
Hijrah Fisabilillah adalah hijrah I’tiqad yang pengamalannya harus benar. Seperti dijelaskan di dalam Al-Quran Surat Al-Hajj ayat 58 :
Dan mereka yang Hijrah pada jalan Allah dan kemudian mereka itu dibunuh atau mati; pastilah akan memberi rizki yang baik ( pemeliharaan yang bagus) bahwasanya Allah adalah pemberi rizki ( pemelihara ) yang sebagus-bagusnya bagi mereka.
( QS Al-Hajj ayat 58 )
• Hijrah Illallah
sebelum kita membahasnya bisa kita lihat di dalam Surat Al–ankabut ayat 26 , Orang yang Hijrah Illallah ini mempunyai satu keyakinan, bahwa semesta alam ini adalah kepunyaan Allah dan segala sesuatunya adalah kuasa Allah. Serta percaya bahwa semua yang ada di dunia ini harus kembali kepada Allah
orang yang melakukan Hijrah Illallah ini berpendirian, bahwa segala apa yang mengenai dirinya atau yang ada diluar dirinya, haruslah menjadi “jembatan”, untuk tawaddu dan dzikir kepada yang Allah Yang Maha Esa
Hijrah Fi-Liah tidak akan sempurna, jika tidak dilakukan Hijrah Fisabilillah sebelumnya, demikian pula Hijrah illallah ini tidak akan bisa sempurna, jika tidak mengikuti tata cara hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah
• Hijrah Illallah wa IllaRasulihi
Tentang Hijrah ini, antara lain-lain dijelaskan dalam Hadist yang diriwayatkan dari siti aisyah sebagai berikut :
Tidak ada Hijrah pada waktu ( hari ) setelah ( datang ) fatah karena sesungguhnya Hijrah itu adalah keadaan kaum Muslimin ( pergi ) mendapatkan Allah Ta’ala dan pergi mendapatkan Rasulullah, karena Agamanya…..”
VIII. Sahnya Hijrah
Semua ayat Al-Qur’an serta haitds yang kita bahas bersama tentunya sudah cukup menjelaskan apa makna HIjrah yang sesungguhnya. Banyak sekali arti dan makna dari kata “ Hijrah “ namun hijrah yang paling benar dilakukan adalah Hijrah Karena Allah ta’ala. Hijrah sendiri tidak akan dikatakan sah apabila kita tidak melalukan jihad.
Hijrah yang tidak melakukan jihad adalah hijrah yang negative. Jika kita melihat kejahatan atau keburukan, baik yang mengenai seorang maupun yang mengenai masyarakat umum, kemudian kita meninggalkan keburuka itu, memutuskan perhubungan dengan dia, ataupun menjauhkan diri dari pada keadaan atau kejadian itu, bukanlah perbuatan yang demikian itu boleh dikatakan Hijrah, Apabila kita masih suka mencela dan tidak pandai memperbaiki diri bukanlah Hijrah namanya
Oleh sebab itu, untuk menyempurnakan amal perbuatan kita di dalam melakukan wajib, yang chas ataupun yang ‘am, perlulah kita menentukan Program Jihad. Suatu langkah untuk meperbaiki diri mnejadi lebih baik lagi.
wassalamu’alaikum wr wb

0 komentar:

Ar Rahman

   

Gambar terkait

   Surat Ar Rahman dikenal dengan nama Arus Al Quran, yang secara harfiyah berarti pengantin Al Quran. Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad bersabda:
“Segala sesuatu memiliki pengantin, dan pengantinnya Al Quran adalah Ar Rahman.” , penamaan itu karena indahnya surah ini dan karena didalamnya terdapat sekian kali pengulangan ayat fabi ayyi aalaa’i Rabbikuma Tukadziban, yang diibaratkan dengan aneka hiasan yang dipakai oleh pengantin.
Ar Rahman sendiri adalah Nama Allah yang berarti “Maha Pemberi nikmat dunia dan akhirat.”. begitu Rahmannya Allah sampai Allah mengkhususkan Ar Rahman dalam satu surat yang indah. Pengingat untuk manusia akan banyaknya nikmat Allah yang terlupa. Tema dalam surat ini adalah uraian tentang nikmat Allah yang bermula dari Nikmat terbesar yaitu Al Quran. Thabathaba’i berpendapat bahwa surah ini mengandung isyarat tentang ciptaan Allah dengan sekian banyak bagian-bagiannya di langit dan di Bumi, darat dan laut, manusia dan jin, di mana Allah mengatur semua itu dalam satu pengaturan yang bermanfaat bagi manusia dan jin. Bermanfaat pula untuk hidup mereka di dunia dan akhirat.
Keutamaan Ar Rahman pun sangat banyak. Berikut rinciannya:
1. Ar Rahman dapat membantu kita untuk memperbanyak memuji Allah
Kata “Ar Rahman” sendiri telah membantu kita memuji Allah dengan makna bahwa Allah Maha Pemurah. Apalagi jika membaca Ar Rahman dengan sepenuh hati berserah diri kepada Allah. Betapa banyak keutamaan yang akan kita dapat.
2. Mengingatkan bahwa Allah memiliki sifat Ar Rahman
Isi surat Ar Rahman adalah penjabaran segala nikmat Allah yang sangat banyak. Pun menjelaskan bahwa Allah Ar Rahman. Sehingga mengingatkan kita untuk bersifat kasih sayang pula terhadap Allah dan terhadap sesama makhluk.
3. Mengingatkan kita untuk tidak mengkufuri nikmat
Telah dijelaskan bahwa ayat Ar Rahman menjabarkan banyak nikmat. Diantaranya ayat ke 3 “telah menciptakan manusia”. jika kita membaca dengan sepenuh hati, kita tidak akan lagi mengkufuri nikmat karena hidup kita adalah berkat Allah. Kita adalah ciptaan Allah yang segala dalam hidup adalah diberi olehNya.
4. Mengingatkan bahwa ada makhluk lain selain manusia yang beribadah pada Allah
Yaitu Jin yang juga memiliki nabi Muhammad sebagai Rasul. Bahwa ciptaan Allah tidak hanya terbatas pada sesuatu yang tampak. Kerajaan Jin dan alam-alam yang tidak tampak pun Allah lah yang menciptakan.
Jabir berkata: Nabi Muhammad keluar menemui para sahabatnya, lalu beliau membacakan kepada mereka surah Ar Rahman dari awal hingga akhirsurah, dan mereka semua terdiam. Beliau berkata: “aku telah membacakannya kepada Jin pada malam berkumpulnya mereka, dan mereka meresponnya dengan jawaban yang lebih baik dibandingkan kalian semua. Saat aku sampai pada ayat fabi ayyi aalaa’i Rabbikuma Tukadziban(maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?)mereka berkata kami tidak mendustakan apapun dari kenikmatan yang Engkau berikan, bagi Mu segala Puji.” (H.R. Tirmidzi)
Dalam hadits ini Nabi Muhammad mengajarkan kepada sahabatnya bagaimana caranya memikirkan dan merenungkan Al Quran; ketika mereka mendengar suatu ayat didalamnya mengandung pertanyaan. Al Thibbi berkata diamnya sahabat yang mendengar bacaan Nabi sama dengan jawaban yang baik. Pernyataan ini ditegaskan kembali oleh Ibnu Al Malik yang berkata diamnya mereka kedudukannya sama dengan pengakuan mereka bahwa dari bangsa jin dan manusia ada yang mendustakan ayat-ayat Allah. Namun, dari bangsa jin menyangkal adanya pendustaan mereka terhadap Allah.
5. Mengingatkan bahwa manusia adalah pelupa
Pengulangan ayat “fabiayyi aalaa’i Robbikuma tukadziban” adalah untuk mengingatkan bahwa manusia adalah pelupa. Ayat tersebut adalah kalimat tanya yang menuntut jawaban manusia yang mengingat ketika membaca ayat itu.
6. Diridhoi oleh Allah atas nikmat apa saja yang diberikan pada kita
Dalam tafsir Ats Tsaqolayn, Rasulullah SAW bersabda: “barang siapa membaca surat Ar Rahman, Allah akan menyayangi kelemahannya dan meridhoi nikmat yang dikaruniakan kepadanya.” Hadits tersebut semakin menguatkan keutamaan surat Ar Rahman.
7. Matinya orang yang membaca Ar Rahman seperti Syahid
Dalam Tsawabul A’mal, dijelaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “barang siapa membaca Ar Rahman, dan ketika membaca kalimat fabiayyi aala’i Robbikuma tukadzibaan kemudian jika dia mengucapkan: tidak ada satupun nikmatMu dari Tuhanku yang aku dustakan, maka jika membacanya di malam hari kemudian mati, maka matinya seperti mati syahid, jika membacanya di siang hari kemudian ia mati, maka matinya seperti mati syahid.” (diriwayatkan oleh Imam Ja’far)
Hadits diatas sangat jelas sekali bahwa Ar Rahman membuat pembacanya mati seolah syahid. Hasits tersebut juga mengingatkan kita untuk membaca Ar Rahman dalam dua waktu, yaitu siang dan malam.

8. Mendapat Syafaat di hari kiamat
Rasulullah bersabda: “jangan tinggalkan membaca surat Ar Rahman, bangunlah malam bersamanya, surat ini tidak menentramkan hati orang-orang munafik, kamu akan menjumpai Tuhan bersamanya(Ar Rahman) pada hari kiamat, wujudnya seperti wujud manusia  yang paling indah dan baunya paling harum, pada hari kiamat tidak ada seorangpun yang berdiri dihadapan Allah yang paling dekat denganNya selainnya. Pada saat itu Allah berfirman: soapakah orang di dunia yang sering bangun malam dan tekun membacamu? Dia menjawab: Ya Robbi, Fulan bin Fulan, lalu wajah mereka menjdi putih. Dan ia berkata kepada mereka: berilah syafaat bagi orang-orang yang mencintai kalian. Kemudian ia memberi syafaat sampai yang terakhir dan tidak ada seorang pun yang tertinggal dari orang-orang yang berhak menerima syafaat mereka. Lalau ia berkata kepada mereka: masuklah kalian ke surga, dan tinggallah didalamnya sebagaimana yang kalian inginkan.”
Demikian keutamaan ar Rahman dan banyak keutamaan yang akan kita dapatkan jika membacanya siang dan malam. Wallahu A’lam.

0 komentar:

Mengapa wajib berjilbab?

Gambar terkait
Assalamu'alaikum Wr.Wb
APA JILBAB ITU?
Jilbab atau hijab secara syari’at merupakan bagian pakaian yang wajib digunakan untuk menutupi aurat wanita.

Dalilnya adalah:
“…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…” [QS. An-Nuur 24:31]
Dari ayat ini maka para wanita Muslimah perlu memperhatikan apa yang ia pakai. Apakah benar-benar hijab yang sesuai hukum Allah, ataukah hanya kain yang dihias-hias oleh tukang salon. Ingat, hijab bukanlah mode yang bertujuan membuat wanita lebih cantik, justru hijab dipakai agar wanita terlindungi dari fitnah. Itulah salah satu tujuan syari’at.
Dalilnya ialah:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59).
Imam Hakim meriwayatkan sebuah hadis yang menggambarkan saat-saat setelah turunnya ayat perintah menutup aurat, yaitu Surat Annur ayat 31:
(dan hendaklah mereka menutupkan khumur- jilbab- nya ke dada mereka…). Riwayat lain menerangkan: “Wanita-wanita (ketika turun ayat tersebut) segera mengambil kain sarung mereka, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab.” (HR. Hakim).
Imam Bukhari juga meriwayatkan hal senada:
“Bahwasannya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Berkata: “Ketika turun ayat (dan hendaklah mereka menutupkan “khumur” –jilbab- nya ke dada mereka…) maka para wanita segera mengambil kain sarung, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab.” (HR. Bukhari).
Dari kedua hadits di atas terdapat empat poin:
1.Para wanita Arab di zaman Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam belum memakai hijab sehingga ketika turunnya ayat tersebut, mereka langsung mengambil kain sarung dan menggunakannya sebagai hijab. Hadits ini sekaligus menjawab perkataan orang-orang Jahil bahwa jilbab hanya tradisi orang Arab.
2.Seandainya para wanita Arab sudah memakai penutup kepala, maka bisa dipastikan bahwa yang mereka pakai hanyalah kain yang menutup kepala, bukan hijab yang sesuai syar’i.
3.Terdapat semangat di dalam diri para wanita pada zaman itu untuk tunduk dan patuh kepada apa yang telah ditetapkan Allah dan rasul-Nya. Terbukti dengan mereka langsung membuat hijab dari potongan kain sarung. Mereka tidak punya waktu untuk memodifikasinya karena memang hal tersebut adalah langsung dari Allah. Ingat, Allah tidak melihat keindahan jilbabmu, tapi Dia melihat bagaimana kamu dengan jilbabmu yang lebar itu bisa menepis fitnah untuk lelaki dan bagaimana kamu mejalankan syari’at.
4.Di antara para wanita di zaman Rasulullah tersebut tentu ada yang baru masuk Islam atau ahli maksiat. Namun, setelah turunnya ayat kewajiban hijab, maka mereka langsung melakukannya. Tak ada wanita yang beralasan seperti wanita di zaman sekarang yang menolak hijab dengan alasan: “Aku belum siap”, atau “Jilbab hanya untuk wanita sholehah”.
AKU BELUM SIAP
Di antara alasan-alasan umum yang dikemukakan wanita Muslimah yang belum berjilbab ialah: “Aku belum siap”. Jika kita cermati, alasan ini kurang bisa diterima dari segi akal maupun dalil dengan sebab sebagai berikut:
1.Ini bisa kita analogikan sebagai berikut: Ketika kita mengajak seseorang untuk sholat wajib lima waktu, kemudian orang itu menolak dengan alasan: “Aku belum mau sholat lima waktu karena belum siap.” Padahal kewajiban memakai jilbab lebih mudah daripada sholat, yang kamu butuhkan hanya jilbab yang cukup hingga menutup dada, rok panjang dan lebar, dan baju yang agak panjang dan tidak ketat. Kalau mau yang lebih efektif bisa memakai pakaian sejenis daster dimana baju dan roknya menyatu. Memakai jilbab tidak seperti orang naik haji, atau membayar zakat, atau menyembelih kambing yang dibutuhkan kemampuan, sehingga alasan: “Aku belum siap” bukanlah udzur dan tidak ada keringanan.
2.Kita tanyakan kepada wanita yang beralasan “Aku belum siap”: “Kapankah kamu siap? Bisa jadi kamu mati dalam keadaan belum siap berjilbab.” Terkadang di antara mereka ada yang meyakini kalau mereka siap berjilbab kalau sudah menikah. Apakah mereka yakin mereka akan hidup di saat itu?
3.Dari segi dalil maupun ijma’, tak ada satu pun ayat Al-Qur’an, hadits, pendapat ulama dimana wanita yang berjilbab harus menyiapkan sesuatu khusus terlebih dahulu. Bahkan dari hadits yang telah kita bahas di atas, para wanita Arab di zaman Rasulullah yang tentunya di antara mereka ada yang baru saja masuk Islam langsung membuat hijab ketika turunnya ayat yang mewajibkan hijab. Tidak ada di antara mereka yang beralasan: “Ya Rasulullah, bolehkah aku tidak memakai jilbab karena aku belum siap?” Dalil ini juga langsung membantah pernyataan bahwa wanita yang pantas berjilbab hanyalah wanita sholehah atau yang ilmu agamanya luas. Semua wanita Muslimah yang sudah akil baligh WAJIB berjilbab.
KEBATILAN ANGGAPAN JILBAB HATI
Sebagian orang yang mengikuti hawa nafsu berkata bahwa jilbab tidaklah penting yang terpenting adalah jilbab hati. Maka, tanyakanlah lagi kepada orang tersebut: “Bagaimana jilbab hati yang benar itu?” Pernyataan seperti ini sangat dekat dengan bid’ah-bid’ah[1]  yang dibuat oleh orang-orang Nasrani yang tidak bersunat, ketika mereka ditanya: “Yesus dikhitan pada hari ketujuh setelah kelahirannya, mengapa banyak di antara kalian yang tidak khitan? Mereka menjawab: ‘Yang penting bagi kami adalah SUNAT HATI!’”
Maka bertakwalah sekelompok orang yang menyelisihi sunah Rasulullah dan syari’at yang telah ditetapkan Allah dalam agama yang mulia ini.
Kemudian ada pula yang mengatakan: “Untuk apa berjilbab kalau kelakuannya bejat? Lebih baik tidak berjilbab tapi kelakuannya baik.”
Maka, kita katakan kepada orang seperti ini: “Berjilbab saja kelakuannya bejat, apalagi tidak berjilbab? Seandainya ada wanita tidak berjilbab berpengarai baik, tentu lebih baik lagi apabila ia berjilbab.”
Belum satu pun saya temui ayat Al-Qur’an, hadits, atau pendapat ulama yang berkata tentang adanya “Jilbab hati”. Bisa jadi ini adalah perkara baru yang diada-adakan.
BOLEHKAH AKU MEMAKAI JILBAB DAN MELEPASNYA SEKALI-KALI?
Terkadang ada saja pertanyaan terlontar dari para Jilbabers, para wanita yang masih belajar memakai jilbab, atau yang berencana memakai jilbab:
“Bolehkah aku memakai jilbab dan melepasnya sekali-kali?”
Jawaban: BOLEH
Hal ini disebabkan tidak mungkinnya para wanita Muslimah memakai jilbab terus menerus. Ada saat dimana ia melepas jilbabnya. Yaitu di saat mandi, tidur di dalam kamarnya, di saat berdua dengan suami, atau saat berkumpul hanya dengan keluarganya di dalam rumah selama ia yakin tak ada orang non-mahrom yang melihatnya tanpa jilbab. Sebab Allah Azza wa Jalla berfirman:
“…dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” [QS. An-Nuur 24:31]

SIAPAKAH YANG PERTAMA KALI TERBUKA AURATNYA?
Nenek moyang kita, Adam ‘alayhis salam dan isterinya adalah manusia pertama yang terbuka auratnya setelah keduanya diperdaya oleh syaitan:
“Hai anak cucu Adam! Jangan sampai kamu dapat diperdayakan oleh syaitan, sebagaimana mereka telah dapat mengeluarkan kedua orang tuamu (Adam dan Hawa) dari syorga, mereka dapat menanggalkan pakaian kedua orang tuamu itu supaya kelihatan kedua auratnya.” (Q. S. Al-A’raf: 27)
Allah memperingatkan kita agar jangan melakukan kesalahan yang sama, salah satunya yaitu memamerkan aurat di depan orang-orang yang seharusnya tidak pantas melihat aurat kita. Sebab yang demikian merupakan salah satu tipu daya setan.
Setan telah berhasil membujuk kaum hawa untuk tidak menutup auratnya sesuai syari’at dengan membisikkan kata-kata yang manis: “Jangan berjilbab, karena engkau belum siap. Kamu masih suka bermaksiat, janganlah berjilbab. Pengetahuan Islammu masih awam, tak perlu berjilbab. Berjilbabnya nanti saja ketika sudah menikah, kalau sekarang kamu berjilbab tak ada laki-laki yang mau dekat sama kamu. Yang penting jilbab hati dulu.” Begitulah pekerjaan setan, sama seperti ketika mereka membujuk nenek moyang kita untuk memakan buah terlarang.
Demikianlah artikel tentang jilbab ini dibuat. Adapun jika kurang jelas, kurang lengkap, atau terdapat kesalahan padanya semata-mata karena keterbatasan ilmu dan kelupaan penulis. Namun, semoga artikel ini dapat membantu memberikan pencerahan dan motivasi kepada saudari-saudari saya.
Yang belum berjilbab, hendaklah berjilbab. Yang sudah berjilbab, hendaklah memperbaiki jilbabnya. Yang telah berjilbab dengan baik, bantulah yang belum berjilbab.
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208)
Dalam riwayat lain:
“Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang asing itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang berbuat baik jika manusia telah rusak.” (HR. Ahmad 13/400 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Al-Jami’ no. 7368)
Teruslah berbuat baik, walau orang-orang di sekelilingmu berbuat maksiat. Jadilah dirimu sendiri. Sebab orang jahat menilaimu dari pikiran jahatnya dan mereka pasti suka engkau berbuat jahat, sedangkan orang baik menilaimu dari pikiran baiknya dan mereka pasti suka engkau berbuat baik.
Wabillahi taufiq wal hidayah…
Semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayah kepada kita, dan memudahkan kita untuk selalu berbuat baik kapanpun dan dimanapun kita berada.
“Dialah (Allah) yang telah menamakan kamu sekalian Muslimin dari dulu dan didalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dialah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Q. S. Al Hajj:78)
Wassalamu’alaikum Wr.Wb

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

INSTAGRAM FEED

@soratemplates

Hidayah

Berbicara tentang hidayah berarti membahas perkara yang paling penting dan kebutuhan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Betapa t...

Cari Blog Ini

Multicursor - Busy